SURABAYA (Jpnews.id) – Tim dokter spesialis kandungan RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) Ferina (Fertilitas Indonesia) menggelar Talkshow 37 tahun IVF dari Konvensional sampai PGT-A bersama dr Aucky Hinting PhD SpAnd (K) dan dr Eva Diah Setijowati MSi Med, Jumat (9/6/2023) malam di Atrium Grand City Mall, Gubeng, Surabaya.
Diketahui, dr Aucky adalah dokter spesialis andrologi. Sedangkan, dr Eva adalah dokter konselor genetik dan embriolog. Keduanya, antusias mengupas-tuntas persoalan bayi tabung di depan undangan dan pengunjung mal pada acara In Vitro Fertilization Festival 2023, 9-11 Juni, atau festival bayi tabung yang diorganisir oleh Medical Tourism Indonesia.
Dokter Aucky mengatakan, bahwa tingkat keberhasilan bayi tabung itu tergantung dari tiga hal. Yaitu, (1) kualitas embrio, yang tergantung dari sel telur dan sel sperma. Nah, sel telur wanita ini terbentuk dari kandungan ibunya, semakin tua umur, maka kualitas embrio makin jelek.
Karena itu, sebaiknya umur di bawah 35 tahun, sebab tingkat kehamilannya bisa di atas 60%. Berikutnya, faktor yang kedua, yakni (2) tergantung selaput rahim. Dan, yang ketiga (3) tergantung teknologi yang dipakai.
“Makin tua, kemungkinan hamil makin rendah. Namun demikian, ada juga kejadian satu-dua hamil di atas umur 46 tahun, dengan bayi yang sehat,” ujar dr Aucky.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, kalau di luar negeri ada donor sperma, tetapi di Indonesia dilarang oleh undang-undang. “Semua orang lahir dan besar menganggap dirinya baik, spermanya bagus normal,” ucapnya.
Padahal, imbuh dr Aucky, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas sperma. Di antaranya genetik, kelainan anatomi dan fisiologi. “Faktor lingkungan seperti pekerjaan terlalu berat, faktor psikis karena stres. Ini hal-hal kelainan, yang harus diperhatikan sebelum mengikuti bayi tabung,” ungkapnya.
Sementara itu, dr Eva menambahkan, bahwa pasangan untuk mendapatkan kehamilan dibutuhkan embrio yang bagus. “Tetapi, itu juga dipengaruhi faktor lingkungan yang sehat, juga mengatur istirahat, untuk meningkatkan peluang kehamilan lebih besar,” timpalnya.
Permintaan Bayi Tabung Terus Meningkat
Ditemui usah talkshow, dr Aucky menceritakan, bahwa timnya sudah bekerja mulai 1990 menangani fertilitas. “Tadinya di RS Budi Mulya, kemudian menjadi Siloam Hospital. Kemudian 2016 pindah RSIA Ferina di Jl Irian Barat No. 7-11, Surabaya,” terangnya.
Selain itu, pihaknya pernah menerbitkan buku tentang orang-orang yang kesulitan mendapatkan anak, yang ditulis wartawan senior Sidiq Prasetyo, berjudul Mimpi yang Sempurna (2019). Mimpi dari ibu-ibu termasuk (artis) Inul, Hanum Rais, yang pernah menjadi pasien Ferina.
Kemudian, kesulitan memiliki anak ini makin lama makin meningkat. Penyebabnya setelah diperiksa, bisa dari laki-laki, juga dari perempuan misalnya ternyata buntu, lalu ada laki-laki yang spermanya jelek, sehingga harus bayi tabung.
“Sehingga tim kita itu, kira-kira sejak 2010 itu, rata-rata mengerjakan bayi tabung 1.000 pasangan. Tahun 2022 lalu 1.200. Kalau pas pandemi memang menurun, tapi mulai 2021 mulai meningkat lagi,” bebernya.
Oleh karena itu, festival bayi tabung ini menjadi kesempatan dr Aucky dan tim untuk menghidupkan lagi masalah ingin punya anak.
“Setelah kita tabulasi selama (beroperasi) itu totalnya 18.000 pasangan. Kalau diukur 2019 sebelum pandemi, lalu pandemi turun 5%. Tetapi, mulai 2022 angkanya naik 3% dari 2019, orang kembali lagi berobat ingin memiliki anak,” urainya.
Pengalaman 37 tahun lalu menangani proses bayi tabung, dia menuturkan, saat 20 tahun lalu itu, ibu-ibu yang datang kasusnya masih ringan. Tetapi, belakangan makin sulit, ibu-ibu yang datang cadangan telurnya menurun, yang pria spermanya makin jelek.
“Salah satu sebabnya, (kini) orang menikah usia lanjut. Kalau dulu umur 25 tahun sudah punya anak umur 5 tahun, menikahnya 7 – 8 tahun. Kalau sekarang, umur segitu masih baru nikah,” jelasnya.
Kenapa Bayi Tabung ‘Mahal’ Biayanya?
Dokter Aucky membenarkan, kalau teknologi bayi tabung itu teknologi ‘agak tinggi’, sehingga biayanya agak mahal. Mulai biaya proses ambil sel telur, pembuahan sampai penanaman itu Rp32 juta. Lalu, kalau pasien takut sakit, kemudian minta dibius, maka tambah Rp2 juta, menjadi Rp34 juta.
“Itu belum obat suntik, yang sedikit Rp15 juta, yang lainnya bisa Rp30 juta. Jadi, sekali bayi tabung bisa menghabiskan dana antara Rp50 – 60 juta,” tukasnya.
Namun demikian, dengan biaya sebesar itu, pada saat menanam (rahim), masih tidak diketahui, apakah embrio genetiknya bagus. Nah, sekarang ada teknologi baru, namanya Preimplantation Genetic Testing (PGT) untuk yang A.
“Embrio itu kita ambil selnya, kita periksa genetiknya, ketahuan, oh ini ndak bagus. Ini kelainan kromosom nomor 21, ini kelainan kromosom 13, itu ketahuan. Dari situ, kita menanam yang embrionya bagus.”
“Cuma biayanya mahal PGT itu, paling sedikit tiga embrio. Dan, satu embrio itu biayanya Rp7,5 juta, jadi orang menghabiskan biaya Rp22,5 juta, ditambah biaya biopsi-nya Rp2,5 juta. Jadi, paling sedikit menghabiskan biaya Rp25 juta, diluar yang Rp50 – 60 juta tadi. Dari Rp60 juta ditambah Rp25 juta, jadi Rp85 juta. Kalau embrionya banyak, bisa lebih banyak lagi biayanya,” ulasnya.
Masih dr Aucky, kalau hasil PGT-nya itu embrionya bagus, maka tingkat keberhasilan kehamilannya itu mencapai 65%. Kalau yang biasa, tanpa proses PGT, maka tingkat keberhasilan hanya 45%.
“Tetapi, jangan lupa. Kalau embrionya sedikit, jelek semua, ya nggak kita tanam. Karena, kalau ditanam juga akan ada kelainan. Jadi belum tentu juga bisa ditanam embrionya. Kalau pasien mau, ya mencoba ulang lagi, dengan biaya baru,” paparnya.
Menurut dr Aucky, menurunnya tingkat kesuburan saat ini, salah satunya bisa disebabkan pola makanan. Makanya, orang harus istirahat, mengurangi stres, olahraga, bergerak, berjalan, psikis, makanan harus diatur, makan buah, sayur, yang banyak, dan sebagainya.
“Infertilitas di dunia ini termasuk Indonesia itu kemungkinannya sekitar 10 – 15%. Jadi, misalnya 10 orang kawin, yang susah punya anak ini bisa 1 – 2 orang. Makin tua umurnya, makin mendekati yang kedua, makin muda umurnya, makin mendekati kesatu ini,” jabarnya.
Untuk pasien yang ditangani RSAI Ferina, mereka juga datang dari luar Surabaya. “Dari 1.200 pasangan pemohon bayi tabung tahun lalu, paling banyak dari Jawa Timur. Luar Jatim, ada dari Yogyakarta, Semarang, Bandung dan Jakarta. Serta, dari luar pulau ada Papua,” pungkasnya. (ads/har)