
BANDA ACEH (JP) – Tertangkap warga saat berperilaku menyimpang di kamar kost, pasangan gay menerima hukuman cambuk sebanyak 82 dan 77 kali, Kamis (27/2/2025) di muka umum di Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, NAD. Hukuman tersebut setelah keduanya terbukti berhubungan badan sesama jenis, karena melanggar Syariat Islam, yang berlaku di negeri Serambi Mekah.
DA, salah seorang pasangan gay, lekas berlutut dan langsung bersujud ke lantai usai menerima eksekusi hukuman cambuk. Tampak algojo mengenakan penutup wajah dan jubah cokelat mencambuk DA sebanyak 77 kali.
DA menerima sabetan rotan dalam posisi berdiri. Ia mengenakan jubah putih. Wajahnya tertunduk setiap kali kena pecut punggungnya, melansir Suara.com.
Teknisnya, setiap 10 kali, cambukan distop sementara. Dan petugas memeriksa kondisi DA sebelum melanjutkan lagi. Dalam kesempatan itu, pada sabetan ke-30, algojo sempat mendapat teguran tim kejaksaan negeri. Karena posisi rotan agak terlalu ke atas, sehingga hampir mengenai leher pelaku.
Dia kena hukum cambuk, karena perkara liwath atau berhubungan badan sesama laki-laki. Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh memvonisnya 80 kali hukuman cambuk. Karena melanggar Pasal 63 Qanun Nomor 6/2014 tentang Hukum Jinayat. Jumlah eksekusi cambukan dikurangi masa tahanan.
Selama persidangan, DA terbukti berhubungan badan dengan pria berinisial AI. Kemudian hakim memvonis AI, 85 kali hukuman cambuk. Tetapi siang itu, ia menerima 82 kali cambuk setelah mengurangi masa tahanan.
AI menjalani eksekusi cambuk giliran pertama, sebelum DA. Wajahnya tertunduk, dan beberapa kali terlihat mengangkat kepalanya ke atas, saat sabetan rotan mengenai punggungnya.
Seperti DA, juga menyetop cambukan sementara, setiap ke-10 kalinya. Petugas memeriksa, dan memberikan air minum. Tim medis, juga memeriksa AI seusai cambukan ke-50 dan 60.
Perkara ini berawal, ketika warga menggerebek keduanya pada sebuah indekos November 2024 di Kota Banda Aceh. Warga kemudian menggiring mereka ke Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh untuk mengadili.
Diketahui, Aceh sebagai daerah khusus dan istimewa menerapkan hukum Syariat Islam yang melarang hubungan badan sesama jenis. Peraturan ini tertuang dalam Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Pasal tentang hubungan sesama jenis antara laki-laki atau gay pada pasal 63 tentang liwath. Sementara lesbian atau sesama perempuan pada pasal 64 tentang musahaqah.
Hukumannya, mendera pelanggar kedua pasal tersebut dengan cambuk paling banyak 100 kali. Atau denda emas 1000 gram atau penjara selama 100 bulan.
Syariat Islam di Aceh bermula lewat Undang-Undang No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lalu menyusul Undang-Undang No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh.
Penguatan penerapannya lewat Undang-Undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Merujuk aturan itu, Aceh memiliki keleluasaan untuk membuat qanun (peraturan daerah di Aceh) berbasis Syariat Islam.
Di sisi lain, hukuman cambuk bagi LGBT telah menuai kritik dari para pegiat kemanusiaan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menegaskan penolakannya saat eksekusi cambuk pasangan gay di Banda Aceh pada 2017 silam.
Amnesty International Indonesia dalam pernyataannya, juga mendesak Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menghentikan hukuman cambuk. Dengan alasan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Dinyatakan Bersalah
Menurut Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Isnawati mengatakan, selama proses persidangan, DA dan AI terbukti melanggar Qanun Jinayat. Kejaksaan semula menuntut keduanya 80 kali cambuk. Namun, majelis hakim memvonis lebih berat.
“Tuntutan kami sama, masing-masing 80 kali (cambuk). AI divonis 85 kali dengan pertimbangan, bahwa dia yang mengajak terhukum (DA) untuk melakukan persetubuhan,” katanya kepada jurnalis.
Adapun alat bukti dalam perkara itu antara lain pakaian keduanya, keterangan saksi, dan pengakuan keduanya. “Artinya cukup tiga (alat bukti) kita dapatkan dalam penuntutan kedua terdakwa,” kata Isnawati.
Tolak LGBT
Pelaksana Tugas Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, Muhammad Rizal mengatakan, setelah eksekusi cambuk itu akan memeriksa HIV kepada DA dan AI melalui dinas kesehatan.
“Kami harap tidak positif, tapi kalau positif, proses pembinaan lebih lanjut ada di Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh,” tuturnya.
Ridwan menuturkan eksekusi cambuk itu komitmen mereka dalam menegakkan Syariat Islam. Ia berharap hal itu menjadi beban dan tanggung jawab bersama agar masyarakat memahami hukum syariat yang berlaku di Aceh.
“Saya kira peristiwa hari ini menjadi cambuk juga bagi kita semua. Pemerintah dan masyarakat untuk terus melakukan pembinaan kepada masyarakat, agar pelanggaran syariat ini bisa kita minimalkan,” kata Ridwan.
Ridwan menaruh harapan, agar orang tua berperan membina keluarganya untuk menjunjung Syariat Islam. Jika melakukan itu, kata dia, pelanggaran syariat tidak lagi terulang di Banda Aceh. “Kami tidak bangga dengan banyaknya angka cambuk. Tapi kami akan bangga, jika masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai Syariat Islam,” ujarnya.
Ridwan menegaskan bahwa Kota Banda Aceh bukan tempat bagi perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). “Saya tegaskan sekali lagi, Banda Aceh bukan tempatnya. Dan kami akan melakukan upaya-upaya, agar LGBT ini tidak berkembang di Kota Banda Aceh,” tegas Ridwan.
Sekali lagi, ia menegaskan bagi siapa saja yang melakukan praktik-praktik LGBT, Ridwan berharap berhenti.
Setelah menjalani eksekusi hukuman cambuk, DA dan AI langsung bebas. Namun, Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, Ridwan menyebut akan membina mereka agar tidak mengulangi perbuatannya.
Pihaknya berterima kasih kepada warga yang telah menggerebek DA dan AI. Ia mengimbau warga lainnya untuk mengambil langkah serupa.
“Kami tidak bisa masuk ke rumah-rumah orang tanpa indikasi yang jelas. Tidak mungkin kami mengawasi di samping kamar orang, tapi ini dimiliki oleh warga dan tetangga di kampung,” tandas Rizal. (*/red)