SURABAYA (JPNews.id) – Korban kekerasan seksual yang masih menempuh pendidikan SMP di Kota Surabaya mendapatkan perhatian penuh Pemkot Surabaya.
Kini, korban dalam proses pemulihan pasca trauma. Bahkan, pemkot juga berkoordinasi dengan Polrestabes Surabaya untuk pendampingan hukum.
Kepala DP3A-P2KB Kota Surabaya Ida Widayati mengatakan, setelah mengetahui kasus itu, Rabu (26/4/2023) lalu, pihaknya langsung mendampingi di RS Bhayangkara saat visum.
“Korban tengah mengandung menuju enam bulan. Kami juga memberikan pendampingan hukum.”
“Koordinasi dengan polrestabes dan sudah bergerak. Jumat (28/4), ibunya sudah di BAP,” kata Ida, Minggu (30/4).
Ida menjelaskan, bahwa usai visum, pihaknya langsung merujuk korban ke RSUD dr Soewandhi, karena harus operasi pada bagian vital yang mengalami infeksi.
“Saat ini dalam masa pemulihan, biar tenang dahulu setelah operasi. Setelah itu baru kita masuk pada pendampingan psikologisnya,” jelas Ida.
Selain itu, Ida juga menawarkan Rumah Aman untuk tinggal keluarga, yakni rumah dinas milik Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya. Namun, ayah korban memilih sewa indekos.
“Sesuai arahan Ibu Asisten 3, meminta koordinasi dengan dinkes, agar memakai tempat itu sementara. Sudah kita siapkan, kita bersihkan, tempat tidur, listrik juga sudah kita isi, tetapi bapaknya memilih kos,” ungkapnya.
Pihaknya pendekatan terus, agar bersedia menempati Rumah Aman sementara. Sedangkan untuk psikologis, pihaknya siap memberikan pendampingan setiap harinya.
“Kondisi saat ini korban masih trauma, serta ketakutan tidak bisa melanjutkan sekolah. Serta kami masih merayu keluarga tinggal di Rumah Aman, agar tidak mengeluarkan biaya indekos,” ujarnya.
Meski begitu, Ida mengaku telah berkoordinasi dengan Kadispendik Yusuf Masruh untuk menyiapkan formula pembelajaran yang tepat.
Sementara itu, Yusuf Masruh menyampaikan model atau pola pendidikan yang akan diberikan menyesuaikan kondisi psikologis dan fisik korban.
“Intinya jangan sampai anak ini putus sekolah. Sebab, masa depannya masih panjang, kami bisa menggunakan metode PJJ (pembelajaran jarak jauh) maupun home visit,” kata Yusuf.
Yusuf mendukung keinginan bersekolah. Sebab, di sekolah ada banyak figur pembentukan karakter. Namun, perlu mempertimbangkan kondisi psikologis dan fisik korban.
“Insyaallah boleh, tetapi menyesuaikan model pendidikan dengan psikologis dan kondisi fisik anak. Kalau tidak, masa depan anak menjadi korban. Jika kejar paket, kita juga mempertimbangkan usia karena banyak waktu terbuang,” pungkasnya. (har)