SURABAYA (JPNEWS.id) – Keberadaan Kader Surabaya Hebat (KSH) cukup membantu Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Namun di beberapa kampung keberadaan mereka seringkali bersinggungan dengan ketua rukun tetangga (RT) maupun ketua RW (rukun warga) setempat. Bahkan sering terjadi miskomunikasi.
Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Kota Surabaya, Sukadar menyampaikan bahwa antara KSH dengan para ketua RT/RW itu ada yang terjadi miskomunikasi dalam penugasannya. Sebab, harus disadari bahwa mereka semua menerima SK sebagai surat tugasnya dari pemkot dalam hal ini dari Wali Kota Surabaya.
“Untuk para Ketua RT dan RW, SK-nya memang ditandatangani camat, tetapi tetap atas nama Pemerintah Kota Surabaya. KSH sendiri merasa terkait SK-nya bukan dari RT ataupun RW. Mereka merasa SK-nya ditandatangani atas nama Wali Kota Surabaya. Sementara di lapangan KSH merasa sejajar dengan RT,” ungkapnya Senin (7/11/2022) di Gedung DPRD, Jalan Yos Sudarso, Surabaya.
Dirilis media Swaranewscom, Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya ini menyampaikan, bahwa karena merasa sejajar dengan RT, maka seringkali apa yang dilakukan KSH tidak berkoordinasi dengan RT.
“Seharusnya bukan begitu. Karena posisi KSH itu, tetap di bawah naungan RT dan RW. Karena KSH adalah bagian warga RT dan RW tersebut. Walaupun KSH ini yang menetapkan atas nama Wali Kota juga, tetapi dalam ruang lingkup kerja masih di bawah ruang lingkup RT,” tutur Sukadar.
Politisi yang akrab disapa Cak Kadar ini menjelaskan, seringkali posisi KSH itu membuat laporan langsung ke wali kota. Padahal, ada persoalan-persoalan di wilayah kampung itu RT dan bahkan RW di wilayah tersebut belum tentu tahu.
“Secara otomatis posisi KSH itu seolah-olah berdiri sendiri di situ, lepas dari RT. Padahal, sebenarnya bukan seperti itu. Sebenarnya KSH tetap di bawah naungan RT setempat. Karena bagian dari ke RT-an ini,” tegas Cak Kadar.
Kedua, lanjutnya, bukan hanya di tingkat RT dan RW. Bahkan, terkadang lurah juga tidak tahu. Yang dikhawatirkan, ketika ada ‘sambat warga’ ke Wali Kota Eri Cahyadi, KSH langsung nyelonong.
“Tiba-tiba Pak Wali Kota jelas menegur. Bagaimana lurahnya, seperti apa camat. Kenapa ada kejadian seperti ini kok sampai tidak tahu. Kemudian yang terjadi camat menegur lurah, lurah akan menegur RW. Maka, RW akan berkata dia tidak tahu. Bahkan, ketika RW menegur RT, maka RT akan bilang, bahwa dirinya tidak pernah diberitahu oleh KSH yang bersangkutan,” papar Sukadar.
Wakil rakyat asal Fraksi PDI Perjuangan ini menegaskan, bahwa dirinya menyadari tugas KSH saat ini mengalahkan tugas aparatur sipil negara (ASN). Padahal tugas pemerintahan harus diselesaikan oleh aparatur pemerintah. Bukan dilempar kepada swasta atau orang lain.
“Menurut peraturan Menpan, kalau itu merupakan tugas ASN. Tidak boleh dilakukan atau dikerjakan oleh diluar ASN. Tapi kalau melihat potensi di Kota Surabaya itu, banyak pekerjaan yang dilakukan oleh KSH,” terang Sukadar.
Dia membayangkan, pagi ada tugas pendataan untuk KSH, sorenya sudah ada tugas pendataan lainnya. Tugas pendataan hari itu belum selesai. Besoknya, sudah ada tugas pendataan yang lain. Otomatis ada penumpukan pekerjaan di KSH.
“Nah, karena KSH merasa dibutuhkan dalam hal ini. Akhirnya, ‘aku’-nya muncul. Secara otomatis para KSH ini merasa tidak perlu berkoordinasi dengan RT dan RW,” beber Cak Kadar.
Untuk itu, dirinya menyarankan agar minimal dari OPD ini, bisa melakukan koordonasi dengan beberapa OPD terkait. Pihaknya berharap antar OPD bisa meluruskan persoalan-persoalan seperti ini. Duduk bareng untuk melakukan koordinasi.
“Kelemahan Pemerintah Kota Surabaya saat ini adalah kurangnya koordinasi antar OPD. Secara otomatis ada bidang pemerintahan, ada dinas sosial, pendidikan dan kesehatan. Yang jarang kita lihat ada sinkronisasi terkait dengan program. Mereka bediri di atas pekerjaan mereka sendiri-sendiri. Tanpa mempertimbangkan OPD yang lain,” imbuh Sukadar.
Dia menyarankan, saat ini harus ada pembenahan supaya tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, antara RT, RW dan KSH diperjelas. Kalau KSH tugasnya hanya sebatas untuk membantu kesehatan, jangan mengambil alih pekerjaan pemerintahan. Misalnya, mendata penduduk.
Kemudian, dari dinas sosial juga seharusnya yang melakukan pendataan MBR. Bisa memanfaatkan SDM yang ada di Dinsos Kota Surabaya. Bisa minimal menempatkan satu orang di masing-masing kelurahan untuk melakukan koordinasi antara KSH dengan RT. “Kalau dibiarkan seperti itu terus, posisi KSH bisa merasa di atas angin. Saya melihatnya kasihan RT,” tutup Sukadar. (red)