SURABAYA (JPNews.id) – Dalam rangka menindaklanjuti program sinergitas Dewan Pers dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar workshop “Peran Pers dalam Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme untuk Mewujudkan Indonesia Harmoni”, Sabtu (5/11/2022) siang di Hotel Grand Mercure, A Yani, Surabaya.
Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah dan melindungi bangsa dari ancaman radikalisme terorisme. Sehingga untuk mendorong upaya pencegahan tersebut, media berperan aktif pada pemberitaan terkait radikalisme dan terorisme yang tetap taat pada Pedoman Peliputan Terorisme.
Dalam diskusi interaktif terungkap sejumlah pedoman bagi jurnalis dalam peliputan berita, yakni memperhatikan kode etik jurnalistik, 5W + 1H, kemudian memperhatikan dampak yang ditimbulkan isi berita, serta melindungi narasumber yang diliput.
Selain itu, diharapkan juga terutama berkaitan radikalisme terorisme tidak timbul kesan glorifikasi, yaitu membuat bangga pelaku kejahatan ini tanpa memikirkan dampak ke belakangnya. Wartawan tidak mereka-reka kejadian layaknya seorang dukun. Dan BNPT sebagai lembaga setingkat kementerian di bawah langsung presiden merupakan leading sektor persoalan terorisme.
Sesaat setelah acara selesai, Plt Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dhamajaya menekankan peran pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme di Indonesia.
“Ini menjadi penting bagaimana teman-teman jurnalis memahami konteksnya, ada juga pedoman liputan terkait dengan teroris supaya sekali lagi, apa yang disampaikan dalam mengolah berita, menyampaikan berita, tidak keluar dari kode etik jurnalistik. Tetapi juga menghormati kaidah mana yang boleh, mana yang tidak, terkait pedoman liputan terkait dengan teroris,” katanya.
Bersama BNPT, Agung biasa disapa, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah tiga kali melakukan perpanjangan MoU, yang terbaru (durasi) tahun 2022 sampai dengan 2025.
“Kemarin kami sudah melakukan tindak lanjut persiapan untuk lebih konkret pasca MoU untuk ada SOP atau PKS. Ini tentunya diharapkan supaya kita lebih rigid, lebih teknis, tatanan terkait kerja-kerja wartawan, kerja-kerja jurnalis dalam proses peliputan pemberitaan teroris,” terangnya.
Namun, Agung menggambarkan pelanggaran kode etik dalam penulisan berita radikalisme terorisme, bahwa secara umum nilainya kecil sekali, lebih banyak kesalahan pemberitaan diluar itu. “Tetapi yang terpenting adalah potensinya harus kita antisipasi, dan mau tidak mau ini terkait dengan kualitas kompetensinya teman-teman,” tegasnya.
Maka dari itu, dirasa perlu hal-hal semacam ini dilakukan berjenjang di beberapa kota, yang pertama di Surabaya, selanjutnya Lombok, dan di Sulawesi Tengah. “Jadi ada 3 sampai 4 kota yang diharapkan ini menjadi pilot project upaya peningkatan pemahaman kepada teman-teman jurnalis,” tutur Agung.
Hingga September 2022, sambung Agung, kasus-kasus pengaduan pers itu hampir 800. “Kalau tentang teroris secara spesifik sebetulnya hitungannya tidak banyak bisa dihitung dengan jari,” ujarnya.
Dia mencontohkan kasus seorang wanita menerobos Paspampres membawa senjata api, dimana media membuat berita rilisnya dari satu sumber.
“Ketika kemudian diuji, yang menyampaikan dalihnya, bahwa kami pak sumbernya kan dari yang resmi. Tetapi sekali lagi, tadi saya menjelaskan sebuah berita itu kan boleh narasumbernya lebih dari satu sepanjang dia kredibel dan menyampaikan fakta, ini menjadi penting, kalau satu sumber saja bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa berita ini betul atau tidak,” urainya.
Lanjut Agung, ini sesuatu yang sepele tetapi potensinya terhadap kualitas berita dan yang dirugikan masyarakat serta medianya, karena begitu orang di akhir cerita tahu, bahwa apa yang disampaikan oleh narasumber, yang kemudian diberitakan salah.
“Mereka akan merefer bahwa medianya berarti tidak kredibel nih, memberitakannya salah sehingga tidak menjadi rujukan ke depan tidak mau lagi membaca berita dari media tersebut,” tutup Agung.
Sementara itu, Kepala Bagian Data dan Pelaksana BNPT, Letkol Setyo Pramono menyampaikan pandangan sebagai kesimpulan hasil pertemuan kali ini.
“Saya berpikir teman-teman wartawan ini perlu buku saku, buku putih BNPT, jadi di era digital ini kita diskusikan lagi, sehingga teman-teman ada SOP-nya, ada mitigasinya, ada rencananya bagaimana yang ditanyakan ternyata itu-itu saja, jadi saya akan dalami, Insyaallah,” singkat Setyo biasa disapa. (wan)